FA, 22 April 2018 Kembali Ke Langit

Baca, Like, Comen, dan Share!


Diantara Jedah tanpa sapa itu.
Aku tak menemukan sapamu lagi. Baik itu dalam Akun WhatsAppku, Facebookku, ataupun Akun Instagramku. Semua percakapan kita telah usai.

Entahlah!
Apa jarak selalu diciptakan hanya untuk memenjara rindu yang tak tersampaikan?
Sepertinya, Aku terlalu terbawa suasana. Seolah-olah Akulah tokoh utama dalam sebuah Novel itu. Novel yang mempengaruhi pemikiranku. Lantaran beberapa hari ini, ku sempatkan waktu untuk membaca sebuah Novel karya Bang Azhar Nurun Ala. Novel yang berjudul "Cinta Adalah Perlawanan" adalah salah satu Novel Favoritku. Begitu juga dengan Analogi Prosa yang berjudul "Jatuh".

Baiklah! Stop, Biru! Ini bukan negeri Fantasi. Jangan terlalu mendramatisir hidupmu! Renungan yang sesekali membuatku harus mengabaikan harapan-harapan kecil yang menggantung di kepalaku.

Ada Satu bait Prosa kala itu, menjadi  prolog yang mengesankan bagiku. Jadi begini tulisan dalam Prosanya:
"Menjauh untuk Menjaga. Kau tahu? Sejujurnya Aku benci konsep itu."

Kamu tahu, Langit!
Mungkin seperti itulah caraku berdamai pada semesta dalam Keberjarakan kita ini. Durasi yang terkesan lama. "Ja(t)uh", Sebuah Antologi Prosa Karya Bang Azhar Nurun Ala adalah hiburan penenang jiwa. Keberjarakan, Jedah, Ruang yang terbatasi, keterdiaman yang membuat kita menepi, semua adalah soal ujian dari-Nya yang harus kita lalui bersama. Terutama bagiku. Bagaimana cara menjelaskannya? Bahkan Aku tidak tahu, dan tak bisa menahanmu lebih lama lagi untuk ada di kota yang sama denganku.

Jauh, sebelum tahun 2018 ini! Pun, Aku sudah Mencoba untuk mengikhlaskanmu pergi. Bagaimana bisa Aku lupa? November 2017 adalah Awal Semuanya bermula. Satu-persatu semua keresahanku meluap dalam sebuah narasi sederhana, ataupun sebuah prosa. Story Wattshap kala itu menjadi saksi dari keberanianku dalam mengutarakan semua yang menjadi keresahanku saat itu. Mungkin, Kegaguan diantara kita terekam dengan sangat jelas dalam memoriku. Semua menjadi canggung sesaat. Bahkan kamu pun tak menoleh ke arahku sama sekali. Dari jadwal sidang Munaqsyah pagi, hingga waktu ishoma siang itu selesai, dan sampai waktu sore tiba. Remember When! Pada tiap-tiap Story itu kutuliskan sebuah catatan kecil. Jadi seperti ini catatannya.

#Queto
#Fase01
Perpisahan itu nampak begitu dekat!
Yang tersisa hanyalah lembaran kenangan.
Suka dan tawa hanyalah sisa lukisan Indah di hari kemarin.
Duka dan emosi hanyalah sementara!
Pergilah!
Tak ada ucapan selamat tinggal untukmu!
See You Again!
Do’aku tetap untukmu!

#Queto
#Fase02
Tidak ada yang bertemu dan berpisah.
Tidak ada yang kembali, kemudian memutuskan untuk pergi.
Tidak ada yang terus melaju atau memaksa untuk berhenti.
Tidak ada yang mengawali dan mengakhiri.
Tidak ada kata ataupun kenangan yang menghapus dan terhapus.
Semua tidak ada dan tidak akan menjadi yang terjadi bila tidak dari-Nya.
Begitulah kita!
Hanya Sang Pencipta-lah yang tahu seperti apa adanya.
Karena semua akan terjadi atas seijin-Nya.
@dianazzahrast

#Queto
#Fase03
Pahamilah! 
Aku tidak akan mengucapkan kata “See You Goodbye”
 tapi, Aku akan mengucapkan kata “See You Again Next Time.”
@dianazzahrast

#Queto
#Fase04
Kapanpun kamu datang, dan pergi?
Sedekat, dan sejauh apapun kamu nanti?
Aku tidak tahu, apa yang menjadikan alasan-Nya untuk menghadirkanmu ke dalam kehidupanku selanjutnya?
Tapi yang Aku tahu, jika tanpa keridhoan-Nya.
Kamu hanya akan menjadi yang berlalu sejenak dalam hidupku.
Entah itu sebagai ujian keimananku, atau sebagai bagian dalam kebahagiaanku kelak?
(teruntuk yang masih dirahasiakan).
@dianazzahrast

***

Hari itu Aku mangkir dalam beranda Instagrammu. Sembari melihat beberapa tulisan yang pernah Kamu abadikan dalam akun Instagrammu. Tapi, Qadarullah.
Tepat pada tanggal 22 April 2018. Diantara 1 topik yang tertera dalam Akun Instagrammu. Aku mulai memahami,
Bahwa foto secangkir kopi itu, ternyata  menganulir takdir. Ada sebuah tulisan yang membuatku memandang lebih lama, sembari berpikir. Apa yang terjadi? Aku melihat foto secangkir kopi yang bertulisan:
Memandang dunia bersama secangkir kopi pagi ini. Ada begitu banyak rasa tersimpan di dalam cangkir, dan juga dalam hati. Srupuutttt!

Kamu mentag satu-persatu rekan kerjamu saat itu. Sementara jari-jemari mulai geram untuk mengikuti pertemananmu. Hingga bertemanlah pada salah satu rekan kerjamu. Ternyata semesta masih memberi cela bagiku untuk bisa mengetahui informasi tentangmu. Baik itu tentang keadaanmu, dan pekerjaanmu. Dengan siapa kamu bersama? Siapa teman-teman terdekatmu saat itu? Apa Aku harus mengetahui hal itu atau tidak? Apa pentingnya bagiku atau tidak? Hanya DIA Yang Maha Mengetahui semuanya.

Filosofi Kopi.
Mungkin Pagi itu, mendadak. Aku mulai mengenang kebersamaan kita dulu teruntuk kesekian kalinya.
Aku selalu ingat!
Bahwa Kamu selalu punya kesempatan untuk menikmati secangkir kopi yang khas dengan yang lainnya.
Tepat!
Kamu memang selalu seperti itu!
Selalu ada yang lainnya. Entah mereka, yang DIA hadirkan hanya untuk menjadi bagian cerita dalam sepotong episode kehidupanmu.

Kamu tahu langit!
Aku ingat betul!
Bagaimana caramu menarik impian dalam-dalam saat berkisah kepada kita saat itu. Baik saat pertemuan di Kedai Kopi Hitam, Numa Coffee, ataupun Cafe lainnya yang pernah kita kunjungi.

Mungkin sama,
Keseriusanmu bercerita kepada mereka tentang impian-impian besarmu. Sampai  pada akhirnya, kamu berhasil menggapainya. Tapi disaat kamu mulai meraihnya. Jujur, Aku mulai merasa Khawatir dengan pekerjaanmu.
Apakah di tempat itu kamu betah?
Apakah kamu nyaman dengan kesibukkan itu? Saat Aku mengetahui Pekerjaanmu Sebagai seorang Finansial Advisor? Rasanya perasaanku menjadi nano-nano.

Terkadang, ada saja hal bodoh yang kulakukan saat menjelang malam hari. Membaca beberapa artikel tentang Pekerjaan sebagai seorang Finansial Advisor. Dari mulai informasi penyeleksian, tahap ujian, masa training, penempatan, Kontrak Kerja, beberapa Target yang harus dilakukan oleh seorang FA. Deskripsi pekerjaan. Kadang sering berpikir. Apa pentingnya bagiku informasi-informasi seperti itu. Sesekali, beberapa costumerku yang bergelut di bidang itu ku interview satu persatu. Diantara kisah mereka, ada yang terlihat keren. Ada yang terlihat melelahkan, dan juga ada yang terkesan menakutkan.

Baiklah!
Ilusi dalam alam bawah sadarku pun mulai berimajinasi. Aku sudah membayangkan,
bagaimana waktu meetingmu yang melelahkan, hingga mengharuskanmu pulang sampai larut malam? Evaluasi Raport harian bersama atasan. Target closing yang lumayan memerlukan perjuangan keras untuk tetap bertahan disana? Bekerja dibawah tekanan AMS,
Mungkin sesekali, dan tak jarang.

Entahlah.
Pikiranku menjadi khawatir seketika.
Meskipun Aku tahu, kamu nampak biasa-biasa saja dengan hal itu. Karena Aku tahu betul. Bahwa kamu pun sangat menyukai tantangan itu. Tapi dalam benakku berkata,
Apa harus seperti itu? Seketika kembali menenangkan diri. Mungkin, DIA Yang Maha Mengetahui seperti apa kerja kerasmu untuk bisa sampai di tempat itu, bersama dengan AXA Mandiri.

Kau tahu?
Aku bangga dengan proses ikhtiarmu dalam meraih pekerjaan sebagai Finansial Advisor. Dari sekian banyak orang. Kamu adalah orang-orang yang terpilih.
Tapi Aku masih tidak tenang dengan persepsi orang-orang di sekitaku tentang pekerjaanmu. Bank??? Riba??? Hanya bisa membuatku seketika menarik nafas panjang dan perlahan-lahan menghelanya keluar.

"Baiklah...Baiklah, Aku harusnya bisa bersikap tenang. Itu Hidupmu! Kenapa Aku Harus Peduli dengan Kehidupanmu."
***

Keesokan harinya,
Aku mulai bercerita kepada Ibu dan Ayah,
Tentang Kabarmu.
Sebelum pergi ke Kantor. Biasanya Di Dapur, Aku berdiskusi kecil bersama Ayah dan Ibu tentang suatu hal. Dengan candaan ringan. Sesekali, Aku mulai membuka topik perbincangan bersama mereka dengan pertanyaan yang nyaris membuat mereka menjadi keluh untuk menjawabnya.

"Ibu, kira-kira siapa ya jodoh Biru?" Tanyaku, sembari meneguk secangkir kopi herbal.

"Iya, manalah tahu Ibu. Lagian pertanyaan kamu ada-ada saja." Sembari tertawa kecil.

Sementara, Saat itu Ayah masih berada di ruang keluarga. Sembari bersiap-siap memakai jaket. Sebelum pergi mengantarkanku kerja. Langkah kaki Ayah, sudah lebih dulu menuju ke Dapur. Sembari mengambil secangkir teh yang sudah disiapkan oleh Ibu, lalu meneguknya. Lalu, Aku bercerita kepada Ayah.

"Ayah, sekarang Langit ada Di Bangka."
Sapaku pada Ayah.

"Ngapain dia disana?" Tanya ayah sembari mengisap sebatang rokok kretek.

"Kerja, Yah." Jawabku dengan senyum tenang.

"Hmmm... Kosongkan Hatimu. Kalau orang sudah merantau ke Bangka. Mana bisa dan mana mau dia balik lagi kesini. Apalagi kalau sudah dapat jodoh orang Bangka. Sama kayak Om Trisno." Jawab Ayah dengan nada ketus.

Sembari menarik nafas panjang. Tuhan, rasanya hatiku seperti kaca yang seketika terjatuh, lalu hancur berantakan di bawah. Entahlah, Aku melihat harapan Ayah yang dulu menjadi sumber kekuatanku untuk bertahan dalam menantikannya, kini tlah pudar. Nyaris membuat dadaku terasa sesak, dan air mata ku berbinar. Tapi, Aku harus terlihat tegar, dan strong. Bukankah, Allah sering mengujiku dengan hal2 yg lebih daripada itu! Lalu, kenapa Aku harus bersedih. Aku Punya Allah, dia juga punya Allah. Tapi bukankah sejauh apapun langkah kakinya menjauh. Bukankah, Aku masih punya sejuta doa yang menjadi senjataku kala itu. The Power Of Doa. Aku hanya bisa memperbaiki imanku, lalu menjaganya erat2, kala kepingan hati itu mulai hancur. Aku kembali menyusunya satu-persatu hingga membuatnya utuh kembali. Hanya menitipkan seberkas doa-doa yang masih tertata dengan baik.
Tuhan, jika pekerjaan itu adalah pekerjaan yang terbaik untuknya disana,
Aku Ikhlas dia berada dalam penjagaanmu,
Meskipun pada akhirnya,
Aku harus lebih dulu belajar untuk mengikhlaskan semua episode yg telah ku lalui dulu, tapi jika pekerjaan itu tidak sesuai dengan hati nuraninya,
Tuhan,
Tolong Pulangkan dia kembali ke Kotaku,
Bantulah dia menemukan pekerjaan yang sesuai dengan hati nuraninya, serta sesuai dengan skillnya. Dalam Tahajjud dan Istiqarahku berlabuh pada Asa yang tak semestinya terlangitkan.

***
Qadarullah, tepat pada Bulan Oktober 2018.
Seorang temen dekatnya membawa kabar yang membuatku terkesima, sekaligus binggung. Lalu Mendadak gagu dengan air mata yang berlinang. Nyaris tumpah, tapi Aku harus menghadapkan wajahku ke samping sembari menarik hijabku. Kemudian bergegas mengelapnya. "Ya, Aku ingat betul di kosan Vhidia episode itu berkisah.Tiara, dan Clara Masih membersamai kami. Begitu juga dengan Ahmad.
Sampai Ahmad berkata,
"Biru, Aku Ajak Langit Ya... Kesini?"
Lagi-lagi Aku Terlihat binggung dengan perkataan Ahamad Saat itu.
"Langit? Siapa?" Tanyaku padanya dengan jantung yg berdebar.
"Iya Langit... Kamu Nggak Tahu apa? dia kan sekarang sudah Resign. Sekarang dia ada di Palembang. Aku ajak dia kesini ya?"

Tuhan, sport jantungku rasanya mau copot dengan kabar yang Engkau hadirkan saat itu. Entahlah, pertanda Apa ini??? Yang jelas, Doaku yang dulu masih sama. Aku selalu berdoa, Agar Engkau tak mempertemukan Aku padanya, jika Waktunya belum tepat. Dalam persepsiku. Pertama, tepat disini ada beberapa episode. Tepat, saat keadaan hati kita sudah sama-sama membaik. Kedua, tepat saat kau sudah bersama seseorang yang menjadi pilihan-Nya, dan sebaliknya Aku pun begitu. Ketiga, tepat saat benar adanya. Bahwa kau memang ditakdirkan Dia untuk menjadi pendamping hidupku, begitu juga sebaliknya denganku. Maka, itulah pertemuan kita sesungguhnya."

Qadarullah, saat Ahmad meneleponmu. Aku lega Kamu memberikan kabar, bahwa kamu tidak bisa ikut dan membersamai kami saat itu. Alhamdulillah, Aku lega. Akhirnya sport jantungku bekerja dengan baik lagi.

***


Comments

Popular Posts