CERPEN DZIKRI, RENTAN WAKTU

Baca, Like, Comen, dan Share!

 


Palembang, 2015
Aku pernah menemani sebagian episode kehidupanmu. Pernah dengan gigihnya memperjuangkanmu. Mungkin hanya bila kau mengerti dalam setiap pintaku tersebut namamu. Sejauh keyakinan yg pernah kupinta pada Semesta. Aku begitu percaya bahwa Kau adalah Calon Ibu untuk anak-anak kita nantinya. Caraku menjauh darimu ku pikir adalah yg terbaik. Dengan mudahnya Aku begitu percaya.Bahwa kelak kau akan paham dengan caraku.

Dalam rentan waktu itu. Aku menjadi pemerhatimu. Aku mendadak jadi kikuk.
Jadi seorang pengecut yg tak bisa tampil di hadapanmu dalam bentang waktu setahun, dan semesta merestui tekadku untuk mengatur jarak, mendewasakan sikap, menfokuskan potensi untuk membangun masa depan yg indah bersamamu. Kelak agar ku bisa menemui walimu. Bukan hanya menemui Ayah dan Ibumu. Lebih dari sekedar bertukar sapa, Aku akan meminta restu mereka untuk meminangmu dalam kepastian yg nyata. Dimana tidak ada bualan dan omong kosong seperti lelaki lain di luar sana.

***

Palembang, 2018

Pagi menjelang siang ini setelah kealfaanku dari hidupmu, dengan beraninya Aku memulai langkah baru untuk menghubungimu. Semalaman kupikir ulang, kata-kata apa yg pantas, yg cocok, yg membuatmu nyaman, dan tersenyum saat membacanya. Berkali-kali kubaca draft tulisan pesan yg akan ku kirimkan kepadamu besok. Entah, sudah berapa karakter yg ku hapus. Baru kali ini Aku seideal mungkin, memilih kata-kata yg pas. Padahal, Aku hanya ingin mengirimkan pesan pada Gina lalu menanyakan kabarnya. Baiklah, Dzikri tenang! Jangan gegabah. Kondisikan hatimu untuk tetap tenang!

Krinkk... Krinkkk... Krinkkkk!
Ponsel berdering. Aku menerima panggilan dari nomor yg tidak dikenal.

"Assalamualaikum, Bro Apa kabar? Ehh... Lho setahun kemana aja nggak keliatan. Udah sukses ya lho? Inget nggak sama Gue? Ini Gue Abdi. Temen SMK lho dulu, sahabat Gina. Masak lho lupa. Kan lho kalau nanya-nanya tentang gina pasti nanyanya ke Gue."

"Wa'alaikumssalam. Baik bro. Lagi sibuk ngumpulin mahar nih buat ngelamar Gina. Hehehe..." Candaku pada Abdi di Wa malam itu. Nggak canda-canda banget sih, Aku masih ngarepin yg terbaik buat bisa menemui Gina di tahun ini.

"Eh Bro. Aku pikir tadi Lho Gina. Ternyata lho, Abdi. Nggak mungkinlah Aku lupa sama kebaikan-kebaikan lho Ab.  Secara info-info penting tentang Gina, kan Aku tahunya dari lho. Tapi kok bisa ya. Lho support hubungan Aku dan Gina. Emang kamu nggak suka apa sama Gina. Dia kan cantik, baik, pinter lagi." Hehehe... Respon Dzikri pada Abdi.

"Gila lho, Iya Enggak lah. Dia udah Gue anggep kayak Adik gue sendiri. Kita tetanggaan. Lagian Gue udah ada calon Bro."

Wajahku yg tadinya agak semerawut karena panik lantaran terus berpikir, kata-kata apa yg pas buat ngirim Wa ke Gina? Mendadak jadi sumringah, lantaran mendengar kekocakan Abdi.

"Yaelah, jangan lama-lama Bro. Ntar keburu diambil orang. Hari gini perempuan mah butuh kepastian. Kalau lho telat datang. Sia-sia aja pengorbanan lho selama ini. Serius deh. Gue nggak lagi nakut-nakutin Lho Zik. Gue ini sahabatnya Gina. Jadi Gue tahu banget gimana dia." Respon Abdi malam itu, mendadak membuat suasana hati Dzikri nggak nyaman, dan keadaan pun menjadi genting.

"Masak iya di hati Gina sekarang udah ada orang lain. Ini cuman asumsi lho aja kali Ab. Supaya Aku cepet-cepet menghubungi Gina."

"Nih bocah! Dikasih tahu malah nggak percayaan banget. Okeh! Bro, save nomor Gue ya. Nomor handphone Gue yg lama, udah nggak aktif lagi. Kalau gitu, selamat berjuang. Semoga berhasil ngedapetin hatinya Gina. Itu baru bisa diakui Solid Gue bangettttt. Kan keren lho."

Tutttt... Tuttttt... Tutttttt...
Dzikri melihat layar di ponselnya terputus, lantaran telpon dari Abdi berakhir.

***

Aku berjalan pulang, aktivitas dunia kerja membuatku lelah dan ingin segera berbaring di kamar.

Alhamdulillah, akhirnya projects hari ini selesai! Aku bisa pulang lebih cepat dari biasanya. Satu jam berlalu, tepat di depan pintu berwarna cokelat dengan stiker bertulisan. "Jangan lupa ucapkan salam saat hendak mengetuk pintu rumah orang!" Entah, pemandangan itu seolah menjadi pengingatku. Tiba-tiba membuatku harus membaca tulisan itu dengan fokus. 

Dzikri mengakui, ada manfaatnya juga stiker itu ditempel tepat di depan pintu rumahnya. Bahkan, karena nggak fokus. Dzikri nyaris lupa Adab saat bertamu. Lupa mengetuk pintu, sekaligus memberikan salam pada penghuni yg ada di dalam rumahnya. 

"Assalamualaikum, Bu. Aku pulang!" Dia selalu mengucapkan hal itu ketika pulang, dan mencium tangan Ibu. Karena biasanya Ibu masih setia menunggu kepulangannya. Sebagai anak bungsu Dzikri masih terlihat manja. Sebenarnya bukan hal itu yg mendasarinya. Ibu memang selalu menantikan kepulangannya. Semenjak kakak Dzikri menikah, Ibu merasa sendirian di Rumah. Suasana rumah yg sepi. Karena itu, Ibu sangat bahagia bila Dzikri bisa pulang lebih cepat dari hari biasanya. Sudah sepekan ini dia selalu lembur. Pulang sampai jam 12 malam. Tetapi Ibu masih setia menunggu kedatangannya di ruang tamu, kadang sampai membuat Ibu tertidur nyenyak. 

"Wa'alaikumssalam Dzikri, tumben Nak pulang cepat. Apa hari ini tidak ada meeting dan bertemu customer di luar? Biasanya kamu selalu pulang malam lantaran lembur. Ibu belum menyiapkan makanan apapun hari ini. Ibu pergi ke warung Bik Surti sebentar ya." 

"Bu, nggak usah masak ya! Tadi Dzikri sudah makan di luar. Ini Dzikri bawakan makanan untuk kita hari ini." Lalu, Dzikri berjalan menuju kamarnya. 

...

Gina, andai kamu tahu perjuanganku selama setahun ini. Pasti kamu dengan senang hati menerima niat baikku. Entahlah, selama SMK Aku mengkagumimu. Bukan karena kehadiranmu sebagai sahabatku, tapi kelak Aku berharap bisa bersanding denganmu di masa depan nanti. Kau tahu, betapa bahagianya Aku jika itu terjadi?

Siang itu, Aku begitu antusias untuk bisa memulai langkah baru menghubungimu. Aktivitas rebahana di kamar, sembari ku fokuskan kedua tanganku untuk mengetik sesuatu. 

[Assalamualaikum Gina, Apa kabar?]

Pesan singkat via WhatsApp itu berhasil kukirimkan dengan tanda centang dua tapi belum berwarna biru muda.  Hatiku berkecamuk, dengan degupan kencang. Entahlah, apa kamu akan merespon WhatsAppku?? 

5 menit berlalu, Aku kembali memeriksa ponselku. Tetapi tak ada notifikasi apapun darimu. Tak lama kemudian, Aku kaget sekaligus tersenyum bahagia. Karena kau membalas WhatsAppku. 

[Wa'alaikumssalam. Maaf ini no siapa?]

Bagiku ini adalah awal yg mengembirakan. Aku berusaha bersikap tenang, dan membalas WhatsAppmu. 

[Aku, Dzikri. Teman SMKmu dulu Gin. Oh iya, maaf baru ngasih tahu. Kalau Aku ganti nomor. Karena setahun yg lalu handphoneku hilang. Jadi semua kontak di handphoneku pun ikut raip. Bagaimana kabarmu sekarang Gin?]

Baiklah, Aku harus berbohong demi kebaikan kita. Aku tak ingin kamu mengetahui caraku menjauh dulu untuk apa, dan karena apa? Kurasa penjelasanku tadi bisa diterima logikamu. 

[Oh, kamu Zik. Alhamdulillah kabarku baik. Kalau kamu gimana?]

Aku terkaget-kaget membaca balasan pesanmu.  

[Alhamdulillah, baik Gin. Kalau kabar Bapak-Ibumu gimana? Udah setahun Aku nggak main ke rumahmu ya.]

Aku lalu membalas pesanmu lagi. 

[Alhamdulillah baik.]

Gina membalas pesanku dengan singkat. 

[Alamat rumahmu masih di tempat lama kan Gin? Besok Kamu ada di Rumah Nggak? Aku mau main ke rumahmu. Sekaligus silaturahmi sama Ayah-Ibumu. Sudah lama nggak mampir. Bolehkan?]

[Iya. Ada. Boleh.]

Terkadang sedih, melihat balasan WhatsAppmu kali ini sangat singkat. Tidak seperti pembahasan kita setahun yg lalu. 

[Insya Allah Ba'da Ashar Aku main ya ke rumahmu].

Aku melihat tanda centang dua sekaligus berwarna biru. Lalu diakhiri dengan tanda 👍 percakapan kita pun berakhir. 

***

Selasa, 15 April 2018W

Lampung, 15.30 WIB

Ba'da Ashar, Aku meminta ijin pada Ibu untuk pergi ke Rumah Gina. Ibu merestui niat baikku. Sembari membawa ketoparak, makanan kesukaan Ayah-Ibu Gina sebagai buah tangan. 

Sore ini Aku sedang dalam perjalanan menuju rumahmu. Perjalanan kali ini lancar. Aku masih ingat warna pager rumahmu, cet rumahmu, tanaman-tanaman mawarmu. Semua napak jelas dalam ingatanku. Benar saja, tidak ada yg berubah. Warna pager hitam bermotif bunga, tembok rumah berwarna abu-abu tua, dan bunga mawar di depan rumahmu sore ini sedang bermekaran. 

Aku memarkirkan motorku tepat di depan bagasi rumahmu, dan langkah kakiku pun membawaku melaju menuju pintu ruang tamu rumahmu. Aku mengetuknya sembari mengucapkan salam. Pada ketukan pertama, tak ada yg mendengarkan sapaanku. Maka, Aku mencoba untuk kedua kalinya.

Tukkk...tukkkk....tukkkkk

"Assalamualaikum, Gina. Gina"

Ketukan kedua pun tidak ada hasilnya. Sembari menunggu penghuni di rumahmu membukakan pintu. Aku kembali mencoba melihat ke jendela ruang tamumu, sembari melihat apakah style pakaianku kali itu terlihat rapih? Lalu Aku mengetuk pintu untuk ketiga kalinya. Aku harap di ucapan salam terakhir ini setidaknya ada yg membalas sapaanku. Jika tidak, maka Aku bisa apa? Selain pulang dengan harapan kosong. 

Tukkk....tukkkkk....tukkkk.

"Assalamualaikum, Gina."

Salam terakhir ini membuatku cemas dengan pikiran yg tidak tenang.Tak lama kemudian, Aku berbalik arah menuju halaman depan, dan bergegas pulang. 

"Wa'alaikumssalam. Suara pintupun terbuka."

Deg! Aku melihat kamu. Seketika saat berbalik arah melihat ke belakang. Itu kamu Gina. Ternyata beneran, itu Kamu. Sontak detak jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya. 

"Dzikri, sudah lama ya? Maaf tadi lagi pada sibuk di taman belakang rumah." Kamu melihatku, dan tersenyum kepadaku seakan tak enak hati lantaran tak ingin membuatku menunggu terlalu lama. 

"Enggak kok Gin, barusan saja." 

"Serius? Maaf ya dzik. Oh iya, silakan masuk! Tunggu sebentar ya, biar ku panggil Ayah dan Ibuku. Duduk Dzik. Perjalananmu kan cukup jauh. Hehehe..." Gina meledekku saat itu, dengan tertawa kecil.

"Nggak juga Gin. Oh iya! ini ada sedikit buah tangan buat Ayah-Ibu." Sembari menyerahkan beberapa kotak ketoprak. Ya, makanan kesukaan Ayah-Ibu Gina. Aku ingat betul. Dulu Aku sering membawakan mereka ketoprak. 

"Duh, jadi nggak enak. Repot-repot begini."

Belum sampai menuju ke belakang. Ternyata, Ayah-Ibu Gina sudah lebih dulu menuju ke ruang tamu. Menyambut kedatanganku. 

"Eh, ada nak Dzikri. Silakan duduk! Kok malah berdiri. Gin, buatin kopi Ayah-Ibu dan nak Dzikri ya." 

Sudah lama nggak ketemu calon mertuaku, eh salah (suara hatiku berbicara) Sapaan laki-laki yg sebagian rambutnya hampir dipenuhi rambut  berwarna putih, Aku merasa optimis berjuang, karena Ayah menyambut kedatanganku dengan sangat hangat dan ramah. Ternyata Ayahmu sangat memuliakan tamu. Sembari memberikan instruksi kepadamu untuk menghidangkan minuman kopi sore itu. 

Melihat kedatangan Ayah-Ibumu. Aku pun menyambut tangan mereka dengan santun. Sembari mencium kedua tangan kedua orangtuamu Gin. 

"Baik Yah." Gina pun berjalan menuju ke belakang. Ya! Ke dapur. 

Sembari menunggu kedatangan Gina, kami kemudian berbincang-bincang tentang banyak hal seperti kegiatannku saat ini, apa pekerjaanku, bagaimana kabar keluargaku? Bagaimana planning jangka panjangku akan masa depan? Saat sedang asik berbincang, aku mendadak menjadi gagap karena kehadiranmu. Kamu membawa 4 cangkir kopi hangat, serta setoples kue kering dan sepiring brownies. 

"Jadi Dzikri dan Gina masih sering berkomunikasikan? Meskipun berjarak?" Bapakmu memulai perbincangan lagi, dengan mengajukan sebuah pertanyaan yg membuatku dan Gina menjadi terpojokkan. 

Aku mendadak diam. Begitu juga kamu Gin. 

"Nggak pernah, Yah. Karena Dzikri sibuk selama 1 tahun ini." Gina merespon pertanyaan Ayahnya dengan tegas. Lalu melemparkan pertanyaan seolah-olah adalah ijin sebuah kesepakatan bersama akan jawaban yg barusan dilontarkannya tadi. 

"Iya Yah. Baru beberapa hari ini Dzikri dan Gina berkomunikasi lagi."

Sejujurnya Aku mati kutu. Saat Ayahmu mempertanyakan kedatanganku dengan membawa niatan apa?

"Nak Dzikri, bagaimana dengan Gina? Apa ada niatan ke jenjang yg serius. Karena untuk perkara yg baik. Ayah tidak ingin menunda-nunda. Dulu, Gina sudah sedikit bercerita tentang rencana kedatanganmu."

"Iya Yah, sebenarnya Saya mau menyatakan niat saya untuk serius dengan Gina. Lebih tepatnya ingin mengajak Gina ke jenjang pernikahan."

"Kalau begini, Ayah-Ibu tidak bisa memberikan jawaban saat ini. Hanya bisa mendoakan yg terbaik buat Gina. Biar Gina yg memberikan keputusan dan pilihannya. Karena dia sudah dewasa, dia sudah tahu bagaimana harus bersikap." Nasehat Ayah-Ibu membuatku agak sedikit gunda, namun Aku bersikap tenang seolah baik-baik saja. Padahal dalam hati bergemuruh.

Melihat ekspresi Gina saat itu, perihal niat baikku, dan kedatanganku sore itu. Membuatku optimis. Bahwa Gina pasti akan menerima niat baikku. 

"Maaf  Dzikri. Gina belum bisa menjawab pertanyaan itu saat ini. Gina butuh waktu." Lalu, Gina sontak berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Yah-Bu! Hari sudah menjelang magrib. Mungkin Dzikri mau bersiap ke masjid."

Rasanya Aku tak enak hati dengan perkataan Gina. Aku bertamu ke rumahnya sampai lupa waktu. Maka, hari itu. Kuputuskan untuk mengakhiri pertemuan penting itu. Lalu, Aku mulai meminta ijin pada Ayah-Ibumu untuk pulang. 

***

Gina, selama 1 tahun ini. Aku berjuang keras untuk mempersiapkan keberanianku menghadap kedua orangtuamu dengan maksud hendak melamarmu. Tapi kurasa terlalu cepat, setelah kealfaanku padamu. Kamu tahu apa yg kupikirkan akhir-akhir ini? Aku memikirkan banyak hal, resiko dan tanggung jawab yg harus diambil jika ingin serius mendekatimu lagi. 

Gina, untuk menikahimu aku harus memikirkan perkara-perkara materi yg sudah ku persiapan selama 1 tahun menghilang darimu. Aku mulai mendapatkan pekerjaan yang baik, dan layak. Bisa datang ke rumahmu dengan gagah tanpa status pengangguran adalah sebuah kebanggaan tersendiri untukku. Bisa menabung uang akad. Iya! biaya pernikahan kita nantinya. Aku siap dengan tanggung jawab baruku nantinya saat mengenap denganmu. Menjadi kepala keluarga bagimu, menafkahimu, melindungimu, dan membahagiakanmu secara lahir dan batinmu. Tapi, sebelum terlalu jauh memikirkan semuanya, Aku memutuskan untuk menghubungimu kembali saat itu via WhatsApp. Aku melihat responmu kepadaku welcome. Kamu menerima kedatanganku dalam hidupmu dengan sangat baik. 

Kau tahu Gina, Aku masih penasaran dengan jawabanmu? Apakah kau menolak niat baikku, atau menerimanya? Semua masih menjadi teka-teki rasaku. 

Seminggu berlalu, Asumsi demi asumsi melemahkanku. Bagaimanapun jika niat baikku ditolak Gina? Bagaimana jika dalam durasi setahun keberjarakanku dengan Gina, ternyata ada pemuda lain yg membuat hatinya terkesima, dan kagum? Kok mendadak psimis gitu. Dasar Aku. Batin Dzikir seperti sedang perang. Perasaannya menjadi serba salah, nggak tenang alias gusar seperti terombang-ambing. Mau nanya pun dia malu. Akhirnya, Dzikri meminta pendapat dengan ustadznya saat mengikuti sebuah majelis taklim hari Ahad lalu. Iya, ustadz Nasrul. Orang yg paling memahami Dzikri. 1 tahun setelah keberjarakan itu, setelah Dzikri memutuskan untuk hijrah. Baginya Ustadz Nasrul bukan hanya seorang Guru, melainkan seorang konsultan terdekatnya. Ustadz Nasrul senantiasa memberikan nasehat kepadanya disaat dia merasa down. Bisa mewakafkan diri untuk jadi tempat curhat Dzikir. Ustadz Nasrul seusia dengan Ayahnya. 

"Ustadz, Beberapa hari lalu Saya datang menemui orangtua Gina dengan maksud menyampaikan niat baik saya untuk meminang Gina. Tapi sampai detik ini, sudah berjalan seminggu. Saya merasa binggung, apakah niat baik Saya diterima atau ditolak. Jadi apa yg harus saya lakukan? Sementara diri ini belum shaleh-shaleh banget."

"Dzikir sudah memastikan perasaan Gina? Udah coba istiqarah belum? Saran ustadz, istiqorahkan saja dulu. Kalau mantap pasti diarahkan jalannya."

"Belum, Ustadz. Insya Allah akan Dzikri istiqorahkan."

Istikharah cinta memanggilku,

Memohon petunjukMu,

Satu nama teman setia,

Naluriku berkata,

Dipenantian luahan rasa,

Teguh satu pilihan,

Pemenuh separuh nafasku,

Dalam mahabbah rindu,

Teringat dengan sebuah lagu, Sigma yg berjudul "Istiqarah Cinta. Dzikri terus berikhtiar mengistiqarahkan Gina dalam sepertigaan malamnya. Berharap yg terbaik demi memantapkan hati dan pilihan. Sebab boleh jadi aku begitu yakin itu baik buatkku. Ternyata penilaian Allah sebaliknya. 

Dzikri merasa tidak ada jawaban apapun dalam istiqorahnya. Sementara hatinya tetap tidak nyaman. 

***

Entah hal apa yg membuat Dzikri berani mengirimkan Sinyal perasaan pada Gina melalui sebuah pesan WhatsApp. 






Comments

Popular Posts