CATATAN HATI UNTUK IBU TERSAYANG
BACA, LIKE, KOMEN, SHARE, OKE LANJUTKAN!
Selamat malam, all!
Dian mau ngeshare ceritaku kemarin nih, Bolehkan??? Boleh ya?
Beberapa penulis sepertiku hanya ingin menuangkan undek-undek aja, sekalian buat berbagi cerita.
Next... Ini ceritaku edisi Jum'at berkah.
Selamat malam, all!
Dian mau ngeshare ceritaku kemarin nih, Bolehkan??? Boleh ya?
Beberapa penulis sepertiku hanya ingin menuangkan undek-undek aja, sekalian buat berbagi cerita.
Next... Ini ceritaku edisi Jum'at berkah.
Dear,
Ibu
Seperti
hari-hari biasa. Jika hari sekolah bukde sering berkunjung ke rumah kami, untuk
menjemput anak bungsunya yang masih duduk di bangku kelas satu. Dapur menjadi
ruangan favorit bagi bukde untuk melepas lelah. Karena biasanya bukde berjalan
kaki untuk menuju ke rumah kami. Di dapur ibuku tengah sibuk mempersiapkan
berbagai jenis makanan. Hari ini ibu memasak soto ayam hasil requestku, sambel
terasi plus tahu goreng. Jika sudah bersua bersama bukde, ibu merasa lelahnya
saat selesai bekerja tak terasa lagi. Aku
pun ikut nimbrung dalam obrolan mereka.
Saat
hendak mengambil jagung rebus sebagai sarapanku pagi ini, tiba-tiba bukde
bercerita kepada ibuku. Firasatku mengatakan, pasti topik obrolan kami kali ini
tentangku. Benar saja, ternyata apa yang aku pikirkan itu benar.
“Semalam
ria bercerita, lalu ia bertanya padaku. Mak, Dian itu kalau sudah selesai
kuliah nantinya mau kerja apa ya Mak? Al-hasil akupun tertawa geli
mendengarnya. Hehehe...”, ujar bukdeku.
Aku
hanya tersenyum, tanpa berkata sedikitpun. Karena pasti ceritanya belum
berakhir. Dengan penasaran aku tunggu kelanjutan ceritanya. Kemudian bukde
melanjutkan seperti apa pertanyaan anaknya itu terhadapnya.
“Iya,
jadi guru ngajilah,” sahut bukde kepada anaknya.
Nah,
mendengar hal tersebut rasanya ibu ingin merespon obrolan bukdeku. Tapi, karena
sibuk memberi racikan bumbu pada masakannya. Sontak membuat ibu tak jadi
merespon. Daripada obrolannya jadi ngalor ngidul, aku pun berniat untuk
memberikan pengertian atas jawabanku kepada bukdeku.
“Niatku
sudah bulat De, setelah selesai kuliah ini aku ingin mengajar atau membina, dan
menjadi pengusaha di bidang makanan. Istilah kerennya, berdaganglah”, ujarku
kepada Bukde.
Kemudian
karena merasa jawabanku itu bukanlah sebuah penyelesaian dari masalah kami. Jadi,
ibu pun ikut merespon obrolan kami.
“Kalau
mau ngandalin uang dari hasil ngajar aja, ya... ndak cukuplah buat makan, dan
memenuhi kebutuhan sehari-hari. Apalagi mau jadi modal untuk tabungan di masa
depan. Jadi guru itu gajinya kecil, dan ngak sesuai dengan apa yang
diharapkan”, celetuh ibu padaku seakan memberikan arahan pada hidupku.
Karena
tak ingin membuat ibu menjadi kesal, dan salah paham. Jadi, aku pun berusaha
untuk memberikan pengertian kepada ibuku, tentang ungkapan yang tadi ku
lontarkan dari lisanku.
“Ibu,
Dian tahu kalau untuk menjadi seorang guru itu pasti tak kan bisa mencukupi
kebutuhanku, takkan bisa membuat hidupku menjadi kaya akan materi, apalagi Dian
hanya seorang guru honor. Tanpa pakaian kebesaran, seperti guru-guru yang tlah
PNS. Mengajar hanyalah sebuah bentuk pengabdian Dian terhadap Tarbiyah ini bu.
Di pagi hari Dian bisa mengajar/mendidik atau yang lebih dikenal lagi dengan
sebutan membina. Dian seperti ini bukan tanpa sebab Bu. Dian hanya ingin
membagi apa yang tlah Dian peroleh dari hasil pembelajaran Dian selama ini,
sebagai lahan bagi Dian dalam menebarkan Ilmu, dan sebagai tabungan atau saham
Dian untuk ke Syurga bersama Ibu. Karena Ibu dan Ayah yang tlah mengupayahkan Dian
untuk menjadi seperti ini,” tuturku dengan sangat hati-hati dan dengan kata
yang santun lagi lembut kepada Ibu. Lalu bukde memotong pembicaraanku.
“Iya,
benar. Tidak ada yang salah dengan menjadi guru. Tapi kalau mau dijadi’in
satu-satunya lahan penghasilan. Pasti ngak akan cukup. Tapi kalau untuk menebar
ilmu yang bermanfaat, Bukde baru setuju”, ujar Bukde.
Ibu
hanya diam, dan kembali fokus pada masakannya. Sementara aku, menjelaskan
keinginan keduaku pada Ibu.
“Ibu,
Dian tahu jadi guru itu gajinya kecil. Karena itu jika sepulang mengajar Dian
bisa buka warung Bakmie Ayam, dan beberapa usaha makanan lainnya untuk
melanjutkan bisnis Ayah. Berdagang adalah salah satu solusi dari permasalahan
kita”, jawabku pada Ibu dengan senyum yang melegakan.
Dari
tiga bersaudara, yang mewarisi jiwa bisnis untuk membuka usaha di bidang
makanan hanya ada satu. Siapa lagi kalau bukan aku? Sama halnya seperti
mengajar/mendidik atau membina. Aku pun mencintai rutinitasku di rumah untuk
berdagang. Aku senang bisa menunaikan kewajibanku sebagai anak untuk menunaikan
amanah dan bakti kepada kedua orangtua dengan rasa sayang.
Tanteku
pernah bilang.
“Buat
apa kuliah, kalau akhirnya masih di dapur juga. Buat apa kuliah, kalau nantinya
masih mau berdagang makanan. Mending uangnya langsung di pakai buat modal”,
kata tanteku saat aku berniat untuk melanjutkan studiku ke perguruan tinggi.
Di
dalem hati cuman bisa bersikap tenang. Rasanya hatiku pengen banget ngobrol,
dan menjelaskan pada tante. Kuliah atau tidak kuliah itu bukanlah suatu masalah
yang akan menentukkan jalan hidupku. Kuliah tidak akan menghambatku untuk tetap
berbakti kepada kedua orangtuaku. Mungkin mereka akan lebih senang jika aku
membuka bisnis makanan/berdagang. Berdagang juga bukanlah suatu hal yang hina,
walaupun aku seorang sarjana nantinya. Justru aku harus bisa memanfaatkan ilmu
yang aku dapat dari gelarku untuk membuat sesuatu hal yang lebih keren lagi,
dengan inovasi yang berbeda dari yang lainnya. Bahkan jika aku tidak kuliah,
siapa yang tahu akan jalan hidupku. Tentu, semua sudah menjadi rencana Allah.
Next... cerita kami harus bersambung sampai disini. Karena jam telah menunjukkan pukul 12.30. Bukde pun harus segera pulang ke rumah.
Next... cerita kami harus bersambung sampai disini. Karena jam telah menunjukkan pukul 12.30. Bukde pun harus segera pulang ke rumah.
Jum’at Berkah,
Palembang, 170106
Comments