Cinta Untuk Figur Otoritas

BACA, LIKE, KOMEN, SHARE, OKE LANJUTKAN!



BAB 1
AKU DAN SESUATU YANG TLAH PERGI


#Basmallah...
#Queto_27 Agustus 2016/Minggu
   Siang menyambut kedatanganku. Singgah di tempat ternyaman seperti biasanya. Menghadirkan rindu yang tlah membuncah, setelah beberapa pekan lalu. Lama tidak bersama dengan mereka yang Engkau cinta. Entah! Harapan kali ini jauh lebih besar dari sebelumnya. Seperti melihat sepasang burung merpati putih yang membawa pesan dari langit. Sunyi, bila hanya menunggu sendiri. Tak sampai lama keramaian angkot kota dan desa terdengar bising di sela-sela telingaku. Setidaknya bisa menemani sepi di siang itu.
     Lihatlah! tangan-tangan refleks mulai membuka bagian depan tas kain berwarna merah miliknya. Mengambil sebuah handphone yang tak antik untuk dipandang. Lalu, beberapa menit kemudian terdengar derap langkah kaki kedua orang muslimah yang berjalan tuk menghampirnya. Tidak ada hal yang menyejukkan selain menyambut mereka dengan wajah yang berseri dalam senyum tenang. Satu orang muslimah terlihat sepantaran dengannya, dan yang satu lagi terlihat sudah berumah tangga.
     Windari, gadis yang empat tahun lalu bertemu dengannya dalam acara PANDAN (Pesantren Ramadhan). Seseorang yang pernah berselisih dengannya hanya karena seorang pemuda di SMA. Sempat terucap kata sumpah serapan untuk tak mau berteman dengan gadis itu lagi. Sebab, terluka, kecewa dan berjuta rasa sebel bergelantungan di hatinya.
Saat mereka pulang dari agenda tersebut. lebih tepatnya di dalam angkot hijau. Pernah, figur otoritasnya membujuk agar dia tak menjadi orang yang saling membenci. Apalagi sampai memutuskan sebuah tali silahturrahmi yang tlah beberapa pertemuan dirajut dengan serangkaian pola-pola indah.
“Kenapa sudah tidak brtegur sapa lagi dengan Windari lagi?”, Ujar perempuan yang berusia 28 tahun itu padanya dengan memandang binggung.
“Ada apa? Tanyanya untuk kedua kali dengan penasaran. “Tidak apa-apa.” Akhwat itu tersenyum tipis.
“Jika tidak apa-apa, tidak mungkin sampai sesebel ini dengannya? Kata Perempuan 28 tahun itu. Seperti ingin memasuki dunianya.
”tidak boleh sampai tak bertegur sapa begitu! Apalagi sampai lebih dari tiga hari. Islam tidak mengajarkan yang demikian cinta,” saran perempuan tersebut padaku.
***
Setelah berselisih cukup lama, akhirnya Allah membuat kami menjadi yang saling mnyayangi. Keadaan kami begitu harmonis, sangat dekat. Bahkan sedekat do’a kami. Entahlah! Apakah itu karena sejuknya setiap petuah-petuah yang terucap dari figur yang menginspirasi kami itu? Atau karena Allah telah memberikan cinta di dalam hati kami untuk tak saling membenci. Semua berlalu begitu lama, dengan sabar kami bersedia menunggu fase-fase indah itu. Lihatlah seperti halya sebuah kepompong, untuk mencapai bentuk yang sempurna, dan bahagia yang sesungguhnya butuh perjuangan, dan pengorbanan.
***
Tadinya aku berpikir ingin mengenal cinta dari yang selainnya.
     Kenapa???
    “Ya”, karena aku cukup sadar diri! Bahwa selama beberapa pekan ini, aku sangat jarang membersamai mereka. Dan aku takut mengecewakannya.  Jadi, aku putuskan untuk memilih ada bersama dengan yang lainnya. Bukan dengan mereka seperti biasanya. Terbilang sudah sebulan, diriku alfa dari taman-taman syurga-Nya.
    Memang, rasanya sulit sekali untuk memutuskan hal tersebut. Karena aku telanjur mencintainya dan mencintai mereka semua sebagai saudariku. Disisi lain, aku telah merasa nyaman dengan cintanya, dan dengan cinta mereka semua. Aku yakin, dan aku pastikan! Bukan hanya aku saja yang merasakan hal demikian. Tetapi, mereka semua juga akan merasakan hal sama seperti diriku. Jika saja mereka ada bersama lingkaran cinta itu. Terlebih lagi bagi mereka! Mereka yang lebih dulu membersamainya sebelum diriku. Mereka yang tlah lama mengenal cintanya. Pasti akan sangat sulit untuk merelakannya, jika suatu hari nanti sebuah perpisahan tiba.
     Disana, bukan hanya belajar untuk mengenal sebuah arti CINTA. Melainkan memahami apa itu arti kenyamanan yang terjaga pada sebuah nilai ukhuwah yang indah. Kami belajar untuk merasakan sebuah keterikatan hati antara yang satu dengan yang lainnya. Bahkan aku tahu betul, seperti apa sulitnya awal yang baru dalam merangkai pola-pola ukhuwah itu. Satu persatu kami harus belajar untuk memahami betul detailnya. cukup rumit! Namun, seiring berjalanannya waktu semua proses sulit itu terlalui. Kita bisa merasakan seperi apa sakitnya sebuah proses panjang itu. Dimana semua suka dukaku menjadi bagian dalam kesedihan mereka. Begitu juga dengan kesedihan mereka  yang akan menjadi bagian dalam kesedihanku.
    Kini semua kenyamanan itu tinggalah sepengal cerita. Karena apa yang sebelumnya ingin aku upayahkan saat ini. Kini, tlah tiba masanya tuk berpisah. Yang ada hanyalah kekhawatiranku akan sesuatu hal yang tak sama. Akupun menjadi yang takut untuk membayangkan seperti apa cinta pada yang selainnya. Semangatku yang tadinya membara seperi kobaran api kini tlah reduh seketika. Hanya menunggu sebentar detik-detik berita apa yang akan teproklamasikan darinya dihadapan ketiga Muslimah tersebut.
***
    Di suatu persinggahan itu, Aku bertemu dengan seorang ayunda yang asing bagiku. Belum sempat kuteruskan catatanku tentang hari lalu, tapi aku sudah terlanjur mengetahui sepotong cerita dihari ini. Tanpa sebuah pembuka, beliau menceritakan tentang maksud dan tujuannya. saat mendengar tuturnya bercengkrama pada pribadi kami. Laksana mendengar petir disiang bolong. di tempat itu, aku tak menemukan sosok yang selama ini aku rindukan. Aku hanya bisa mendengarkan sedikit cerita tentangnya, tanpa menjumpainya. Dari sedikit cerita itu, aku berusaha mengambil kesimpulan sendiri sembari bertanya? apakah cerita itu adalah sebuah kabar duka, atau mungkin suka? Tapi yang jelas aku harus siap mendengarkan semuanya. “Ya”, bukan hanya sekedar mendengarkannya. Tapi juga menerima semuanya yang tlah aku dengar. Lalu, seorang adinda datang dan duduk bersama kami. Dengan seksama, dia pun ikut mendengarkan ayunda baru kami itu. Dalam hitungan detik, dia merasa syok dan kaget dengan sepotong cerita itu.
    Beberapa detik kemudian, suasana bising berubah menyadi sepi dan sendu. Aku menyaksikan betapa terpukul hatinya. “Ya”, dia adalah adinda bungsu kami. Dia berusaha untuk menahan kesedihannya. Tapi tak begitu lama, air matanya justru menjadi sebuah saksi bisu dari setiap diamnya yang keluh.Tak ada satu katapun yang terucap dari bibir kecilnya. Yang ada hanyalah deraian air mata yang terus mengalir deras. Aku merasakan arti dari kesedihannya saat itu. Karena aku pun merasakan hal yang sama sepertinya. Tapi bedanya, aku masih sanggup menipu diriku tanpa harus menangis. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah hatiku yang menangis. Mencoba merelakan sebuah perpisahan tanpa sosok yang dirindu.
     Jika ditanya, sudah siapkah kita berpisah?
     Maka, aku pasti mengatakan : ”aku tak ingin berpisah, dan aku belum siap untuk berpisah dengannya”. Aku takut dengan tak adanya dirinya aku menjadi yang tak terarah. tapi aku harus menepis semua ketakutan itu dengan percaya. Bahwa ada atau tidak ada dirinya, aku harus bisa istiqamah dan bergerak sebagaimana mestinya.


     Aku banyak belajar dari sosoknya. Aku belajar tentang apa itu CiNtA, dan memaknai sebuah hubungan. Meski kami tak dilahirkan dalam satu rahim yang sama. Aku mengenal tentang apa itu ketulusan, dan arti seorang guru bagi binaannya. Itulah Sang Figur Otoritasku.


     Aku tidak akan pernah melupakanmu, dan aku akan sangat merindukanmu Sang Figur Otoritasku.

Comments

Popular Posts