Proses Yang Tak Semestinya

Baca, Like, Comen, dan Share!



Proses kita berbeda dengan yg lain, 
Jadi bagaimana? Sepakat untuk memilih jalan itu? Cukup kita, dan orang terdekat kita yg mengetahui bagaimana proses kita. Aku tahu ini salah, karena tidak ada fasilitator yg bertahan lama dalam  perjalanan proses mengenal kita. Pernah ada, itupun hanya di awal. Beberapa adik angkat cukup mengetahui. Tidak lebih dari itu. Aku masih ingin menjaga dan menutup rapat-rapat baik-buruknya Aku ataupun Keluargaku, begitu juga dengan Kamu. 

Sejak kuputuskan untuk menolak Kamu, proses lanjutan dalam perjalanan saling mengenal kita. Aku memintamu untuk mencari jalan lain, Aku tak cukup baik buatmu. Dimana standar pilihan pendamping hidupku saat itu bukan ada pada dirimu. Aku lebih banyak menuntut, tanpa mengenal siapa diri ini. Bagaimana bisa Aku menuntut sebuah kesempurnaan dari seseorang, sedangkan diri ini jauh dari kata sempurna? Tapi, Skenario langit memberikan rencana yg tak terduga. Paham, bahwa Aku punya kekurangan dan begitu juga kamu. Proses yg tidak sebentar, dan bagiku ini adalah proses saling mengenal terlama. 
***

Februari 2021,
"Han, kalau kemarin Mas ditanya sudah siap menikah atau belum? Dengan optimis Mas bilang sudah siap. Tapi kalau ditanya sekarang, Mas jadi binggung. Masih banyak hal yg harus diperbaiki. Ibu Mas juga bilang, jangan buru-buru. Harapan Mas, Insya Allah sekitar bulan 8 sudah siap total. Siap menikah. Tapi sayang, calonnya belum ada. Mas, sudah tidak masuk kriteria Hanin lagi kan?".

Seketika tanya itu tertuju dalam pesan WhatsAppku. Binggung mau respon apa. Pertemanan kita baik-baik saja setelah penolakan itu. Tapi sejujurnya, Aku nggak bisa bohongi hati nuraniku. Nggak pernah begini! Biasanya setalah melakukan proses istiqarah, memberikan statement sebuah kalimat "Penolakan" pada beberapa orang sebelumnya, yg berniat baik untuk meminangku. Tidak ada kata penyesalan disana. Tapi kali ini, kok nyesel banget, sudah menolak Kamu Mas. Allah justru menunjukkan kebaikan-kebaikan Kamu di durasi perjalanan proses mengenal kita. Bukan sebaliknya, keburukan-keburukan kamu. Entah keputusanku yg salah kali itu lantaran tidak peka terhadap petunjuk-Nya, atau egoku saat itu masih di tingkat tertinggi?"

Responmu Simple saat itu, perkenalan dulu. Masalah cocok, berarti Alhamdulillah bisa lanjut. Jika tidak cocok, berarti nggak jadi dan nggak jodoh. Hatikan harus bisa sama-sama menerima. Tidak boleh dipaksa. Bukan ajang coba-coba, namanya juga lagi ikhtiar. Yang tahu baik-buruknya seseorang buat hidup kita itu kan Allah, yg tahu pantes atau nggaknya juga karena arahan Allah. Istiqarahlah!

Wait! Jadi flashback, dulu Aku tuh nolak Mas Hamid karena Aku takut dia nggak bisa jadi Imam yg baik buatku, dan Aku nggak bisa sepenuhnya rela jadi Makmumnya. Aku ragu sama proses hijrahnya. Aku memberikan statement sama Ibu waktu menimbang-nimbang dalam mengambil keputusan untuk menolak ataupun menerima proses perkenalan itu. Dimana pada saat itu, kami masih ada fasilitatornya. 
"Bu, gimana menurut Ibu tentang Mas Hamid? kalau secara kasat mata, orangnya sih baik, sopan dan adabnya bagus sama ortu. Tapi jujur, Aku takut dia bukan yg terbaik buat Hanin, Bu. Hanin butuhnya dibimbing, bukan membimbing. Bukan berarti Hanin sempurna dalam pemahaman agama. Gimana coba, Hanin bisa kesyurga-Nya sama-sama, kalau nggak ada yg bisa membimbing Hanin. Aku takut, Mas Hamid nggak bisa jadi Imam yg baik buat Hanin. Jadi gimana Bu, mau diterima atau ditolak?", Sepanjang obrolan itu. Ibu sama sekali nggak ngerespon curhatanku. Di wajah Ibu yg terlintas hanya raut wajah yg sendu, dan berair mata. Nggak ada kata-kata "Yes, or No". Dari situ, Aku menyimpulkan sebuah asumsi. Aku pikir respon Ibu yg slow begitu pertanda "Aku harus menolak Mas Hamid. Mungkin dia bukan yg terbaik buatku."

5 hari berlalu...
Pertanyaan tentang "Kepastian" harus kusampaikan. Entah itu pahit-manis. Tetap harus kusampaikan. Aku bersyukur, karena Adik perempuan itu sangat bijak. Dia tidak memaksaku untuk menerima, tidak juga memberikan statement yg bisa mempengaruhi keputusanku saat itu untuk menolak. Dia adik perempuanku yg paling objektif. Hanya saja, berkali-kali ketika ditanya, "Mbak yakin serius fix nolak? Nggak mau mencoba mengenal beliau dulu kah? Coba dipikir-pikir lagi Mbak?"

Pertanyaan itu, seketika terucap dibagian perjalanan kami saat itu. Aku juga inget, gimana responku saat itu. "Kalau Mbak menerima, terus siapa yg mau jadi fasilitatornya. Mbak, nggak punya orang yg bisa dipercayai untuk menjadi fasilitator kami dalam hal ini. Memangnya Adek mau jadi fasilitatornya Mbak?"

"Mbak, Fasilitator itu harusnya orang yg udah nikah. Aku kan belum menikah. Mana bisa jadi fasilitatornya Mbak. Kita nggak tahu dipenghujung jalan dalam proses perkenalan kalian gimana? Aku khawatir, ujian itu ada. Entah, dia yg naksir sama Aku ataupun sebaliknya. Saran Aku, mending Mbak minta bantuan MR, Ustadzah-Ustadznya dia, atau orang terdekat kalian yg udah menikah." 

Wait! Setelah dipikir ulang. Memang ada benernya sih, kata-kata Adek perempuanku itu. Yaudah. Fix, Aku rasa jalan buntu. Jadi Aku beneran nolak dia. Asumsiku gini. Ustazahku nggak acc Aku nikah sama orang yg bukan sefrekuensi sama diriku. Ortuku ditanyain diem aja. Nggak ada respon apapun. Aku pikir, itu pertanda Semesta kalau Aku beneran harus nolak orang itu. 

Bersambung...




Comments

Popular Posts