Cerpen Kepergian Mbak Dina

Baca, Like, Comen, dan Share!


"Dimana, Kok nggak kelihatan?" tanya Mas Faiz pada rekan kerjanya, sekaligus teman terbaiknya.
"Di rumah lagi momong Iky", respon Bram pada Mas Faiz.
"Manis sekali". Kata-kata sederhana ini ternyata dianggap hal yg serius pada Bram.
"Kamu nggak bakalan ngerti, gimana nggak enaknya ada di posisiku saat ini? Dalam hati nyesek."

Ada rasa marah, sedih, terluka untuk bisa menjelaskan betapa tak enaknya kehilangan orang yg kita cintai di dunia ini.

Mei 2022,
Aku ingat betul hari itu langit tampak mendung, tidak ada firasat apapun. Dari luar kamar seorang Lelaki memanggilku. "Dek, ada tamu di depan. Yoks keluar, nggak enak kalau hanya menyendiri di dalam kamar?"

Tidak ada pertanyaan apapun saat berjalan menuju ke ruang tamu, selain kata "Siapa?"

Suami menjelaskan yg datang adalah rekan kerja, sekaligus teman baiknya. Ia datang bersama Istri dan anaknya. Maklum, masih dalam suasana Lebaran.

Bagiku, itu adalah pertemuan pertama dan terlama bagi keluarga kecil kami dengan Mbak Dina (Istri Mas Bram).

Aku melihat Mbak Dina sedang mengendong Gilang yg sedang tertidur dalam pelukannya. Tanpa basa-basi, Aku segera mengambil bantal untuk Gilang (Anak kecil yg berusia 9 bulan). Bayi dengan bobot tubuh yg subur dan menggemaskan.

Fokusku harus pecah seketika, menatap, bercerita seputar kebahagiaan Mbak Dina dalam mengurus buah hati, menceritakan suka-duka saat proses kehamilan, sampai melahirkan Gilang. Masya Allah. Sementara Aku masih menikmati proses berjuangku dalam masa penantian. Kulihat  di atas sopa, Mas Bram dan Mas Faiz sibuk bersenda gurau menceritakan hal-hal bahagia mereka, perihal hidup berumah tangga.

Cukup lama yah, obrolan keluarga kecil kita saat itu. Lantaran Keluarga Mas Bram juga tidak bisa pulang. Disatu sisi sedang hujan deras, disisi lain, Gilang (bayi kecil) yg menggemaskan itu sedang tertidur.

Selasa, Mei 2022
Masih di bulan yg sama. Hari itu, Aku dan Mas Faiz mendengar kabar duka tentang kepergian Mbak Dina. Kaget, dan tak percaya. Secepat itukah? Padahal, baru lebaran kemarin bisa akrab dengan Mbak Dina. Tapi Qadarullah, seperti itulah yg terjadi. Kami pun pergi untuk melayat, dan mengantarkan jenazah Mbak Dina ke persinggahan terakhirnya.

Kami melihat Mas Bram sangat Rapuh, dan Gilang masih menangis seharian, tidak mau ikut siapapun. Kecuali Mertua Mas Bram. Mungkin ia mencari sosok Ibu yg selama ini membuatnya nyaman dalam pelukkan. Aku dan Mas Faiz tak kuasa menyekah tangis, tapi berusaha menguatkan Mas Bram.

Waktu bergulir. 
Dalam masa tahlilan ke 3 hari, dan 7 hari setelah kepergian Mbak Dina. Kami tak pernah absen datang ke Acara tahlilan kepergiannya. Masih setia mendoakannya. Bahkan, kulihat Mbak Gita (Mbak Kandung Mas Bram) berusaha penuh menemani Gilang yg sedang rewel saat itu. Aku ikut membuat Gilang tertawa kecil, membantu menina bobokannya agar ia tertidur, dan ketika susu dalam botolnya habis, berusaha membuat susu untuknya. Sementara Mas Bram berusaha kuat dan tegar di depan orang lain. Padahal, hatinya menangis dan terasa sesak.

15 hari setelah kepergian Mbak Dina, Mas Bram berubah drastis. Dia lebih banyak murung, tidak banyak bercanda seperti sebelumnya. Hari-harinya selalu mendung, dalam kesendirian dia menangis. Tak jarang Mbak Gita berusaha membantu Mas Bram momong Gilang. Usia Mas Bram masih sangat muda, 27 tahun seusiaku. Tapi ia harus merasa kesedihan kehilangan istri yg meninggalkan 1 orang Anak lelaki berusia 9 bulan. Entahlah... bagaimana ia bisa melalui masa sulitnya...

Bersambung...


Comments

Popular Posts