Life Story, Kunci Membentuk Ritme Pernikahan
Baca, Like, Comen, dan Share!
Diawal menikah Aku cukup kesulitan memahami inginnya. Beberapa kali problem. Wajar, karena kita sadar! Kita juga butuh problem untuk sama-sama mendewasakan diri.
"Boleh yah datang ke majelis pekanan." Pintaku padanya. Diawal menikah pun Suami menyetujui inginku, dan memberi Ridho. Mensupport kegiatanku jika itu baik.
Hanya saja, pernah terjadi benturan hebat soal manajemen waktu. Disitu Aku merasa sangat sedih. kurasa kecewanya jadi tertuju padaku. Sempat terucap statement larangan untuk alfa dulu dari kegiatan belajar pekanan itu. Entah, karena Aku yang lalai dengan manajemen waktuku, atau dia yang belum paham dengan random acaraku, sehingga membuatku pulang terlambat, padahal sudah ada yang setia menunggu. Iya siapa lagi kalau bukan Suami.
Ketika hendak menyampaikan niat kealfaanku pada Mbak-Mbak sedih. Bismillah, ridho Suami lebih utama dan setiap kali menghadapi benturan hebat. Aku Hanya meminta pada-Nya yang terbaik, dan mengkomunikasikan semua dengan terbuka soal apa inginku, dan apa inginnya? Mudah?? Tentu saja tidak. Yang jelas harus berderai air mata terlebih dahulu untuk menempah diri ini jadi pribadi hebat/kuat. Karena Aku yakin, problem itu hanya masalah ego. Bahkan dari hati kecilnya, Aku juga yakin dia pun pasti tak menghendaki kealfaanku dari pertemuan pekanan itu. Dari taman-taman Syurga-Nya.
Benar saja, setelah dikomunikasikan dari hati ke hati. Minta keridhoan-Nya, saling evaluasi diri dan memaafkan. Allah berikan ritme kehidupan rumah tangga yang baru buat kami. Allah memudahkan sesuatu yang dirasa sulit untuk dipahami jadi mudah memahami.
Aku dan Suami beda frekuensi. Setelahnya, dia tak melarangku menuntut ilmu dimana saja? Selagi dia Ridho, dan dengan seijinnya. Kalau perlu kita duduk di majelis yang sama. Meskipun realnya tidak selalu harus sama. Sebab, Ilmu itu seperti jaring Laba-laba. Antara yang satu dan yang lainnya saling berhubungan. Selagi masih ada filter di dalamnya. Selagi ilmu yang diterima tidak bertentangan dengan Al-Qur'an dan Al-Hadist. Selagi kami masih bisa memberikan kebaikan untuk rumah tangga kami. Lakukan!
Dulu sebelum menikah, harapan untuk punya teman hidup yang sefrekuensi itu ada. Tapi standar pilihan hidup yang sebelumnya sudah kutentukan itu harus sirna paripurna. Qadarullah, Takdir terbaik-Nya lebih menentukan untuk hidupku. Seperti apa baiknya? Lantas, apakah Aku harus kecewa dengan-Nya ketika inginku tak terwujud? Tentu saja tidak! Karena standar pilihan hidup yang dibuat dahulu tidak wajib tercapai, dan belum tentu yang terbaik. Tapi ingin-Nya sudah tentu yang terbaik bagi kita.
Pernyatan pertama dari Ali bin Abi Thalib, “Saya meminta sesuatu kepada Allah. Jika Allah mengabulkannya untuk saya maka saya gembira SEKALI saja. Namun, jika Allah tidak memberikannya kepada saya maka saya gembira SEPULUH kali lipat. Sebab, yang pertama itu pilihan saya. Sedangkan yang kedua itu pilihan Allah SWT.”
Setelah menikah, ada beberapa perbedaan cara pandang diantara kami. Bagiku itu adalah tantangan. Disitu nikmatnya menjalani rumah tangga. Rumah kan madrasah. Jadi kami sama-sama saling belajar menghadapi perbedaan itu. Saling tukar referensi kalau perlu. Biar memandang segala sesuatunya nggak "Saklek", ada sudut pandang dan sisi lain yang berbeda di antara kami. Tidak bisa membenturkan perbedaan hanya dari satu sudut pandang. Boleh dunks negosiasi, jika referensi Suami lebih kuat. Maka, pendapatmu tertolak. Kan posisinya Istri adalah seorang Makmum. Jadi apa yang diperintahkan Suami selagi baik. Maka, taati, atau kita bisa menghargai setiap keputusan itu dengan bijak, dan dengan berakhlaq baik. Aku rasa sudah cukup menjadi patokan dalam pengambilan keputusan/tindakan.
Alhamdulillah, ketika kita tsiqah dan percaya penuh sama janji-Nya. Kita tidak akan kecewa. Pernah membaca Firman-Nya ini kan?
"... Dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman." (QS. Ar-Rum:47)
Yakin sama Janji-Nya. Nggak maksa harus ketemu jodoh yang sefrekuensi. Gimana kalau yang sefrekuensi itu nggak bisa menerima kita, atau nggak baik buat hidup kita? Tapi kalaupun dapat yang satu frekuensi, berarti Alhamdulillah. Berarti itu memang yang terbaik buatmu. Nggak perlu liat sisi bahagianya pasangan yang lain. Karena masing-masing orang itu punya jalan hidup yang beda. Nggak bisa dipukul rata buat sama. Cocok, bisa diterapkan di rumah tangganya dia. Belum tentu cocok diterapkan di rumah tangganya kita. Karena masing-masing rumah tangga itu beda SOP.
Alhamdulillah, dari problem itu justru Allah ciptakan ritme yang indah. Sekarang kalau tidak datang ke majelis ilmu suka ditanyain sama Suami?
"Kok nggak datang? Memangnya yang lain pada kemana? Nanti majelisnya di rumah siapa? Mau diantar atau nanti mau di jemput dimana? Yang datang banyak atau enggak? Terus tadi pas majelis belajar apa?"
Pertanyaan beruntun darinya diulas kembali sebelum kita sama-sama terlelap. Buka sesi diskusi. Saling share ilmu. Ahhh... Disitu namanya nikmat.
Semoga keluarga kita dipenuhi rasa sakinah, mawadah, dan Rahmah, ilmu kita dipenuhi pengarahan islam, dan dipenuhi keberkahan-Nya. Karena keluarga ini didirikan di atas motivasi Ibadah. Nikmat bukan?
Pernah suatu ketika Aku bertanya pada Suami.
"Mas, hadist Qudsi itu apa?"
Suami menjelaskan sesuai dengan pemahamannya. Dia bisa memberikan pengajaran yang baik dengan proses tarbiyah yang dia terima. Tarbiyah (Pendidikan)
"Kok bisa, Mas tahu?" Tuturku padanya, dan Jawabannya benar.
"Iya, kan belajar." Responnya singkat.
Aku pun terkagum-kagum dengan Takdir-Nya, karena telah mempertemukan kami berdua untuk bisa jadi satu keluarga. Karena yang terbaik menurut kita belum tentu terbaik menurut-Nya. Sebelum pasang standar pilihan hidup kita? Lekas memantaskan diri pada-Nya. Boleh minta tapi nggak maksa yah! Serahin sama Allah mana baiknya! Jangan memaksa inginmu, hanya karena dia bukan standar pilihan hidupmu! Kamu pasti akan menerimanya dengan arah-Nya, meskipun dia tidak satu frekuensi denganmu. Contohnya di kehidupan kami ini. 😅
Tarbiyah itu adalah proses belajar sepanjang hayat. Setelah menikah pun kita dituntut untuk mencari ilmu, dan memperbaiki akhlak. Tidak penting berbeda, jika masih berpedoman pada pedoman yang sama. Iya! Al-Qur'an dan Al-Hadist. Perbanyak referensi dan ilmu.
Palembang, 31 Januari 2023
11:06



Comments