Pahlawan Nusantara, Tuanku Imam Bonjol
Tuanku Imam Bonjol (lahir di Bonjol, Luhak Agam, Pagaruyung, 1772 – wafat dalam pengasingan dan dimakamkan di Lotta, Pineleng, Minahasa, 6 November 1864) adalah salah seorang ulama, pemimpin dan pejuang yang berperang melawan Belanda dalam peperangan yang dikenal dengan nama Perang Padri pada tahun 1803–1838. Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 087/TK November] 1973. Salah satu naskah asli yang memuat riwayat hidup Tuanku Imam Bonjol tersimpan di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sumatera Barat.
- LATAR BELAKANG KEHIDUPAN
Bonjol sendiri merupakan suatu kampung yang berada di daerah Sumatra Barat. Nama asli dari Tuanku Imam Bonjol adalah Muhammad Shawab, yang lahir di Bonjol pada 1 Januari 1772. Kampung ini terkenal karena Muhammad Syahab dilahirkan dan berjuang bersama-sama dengan seluruh lapisan masyarakat di tempat itu. Mereka saling bekerja sama menentang penjajahan dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Syahab adalah seorang ulama, pejuang, dan tokoh yang dituakan oleh masyarakat. Dia menjadi tempat meminta nasihat, petunjuk, dan mengadu segala hal, baik yang berkenaan dengan masalah keagamaan maupun kedunian. Sewaktu kecil beliau dikenal anak yang cerdas. Hal inilah yang menyebabkan dirinya memperoleh beberapa gelar, yaitu Peto Syarif (keturunan Nabi Muhammad SAW) , Malin Basa ("Basa", bahasa Minang Besar) , dan Tuanku Imam.
Imam Bonjol adalah putra tunggal dari pasangan Khatib Bayauddin dan Hamatun. Ayahnya merupakan seorang alim ulama yang berasal dari Sungai Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota. Ibunya Hamatun dan pamannya Syekh Usman adalah perantau bangsa Arab yang datang dari Negeri Maroko ke Alai Ganggo Mudik, dan diterima masuk ke dalam tatanan adat Minangkabau. Syekh Usman menjadi penghulu kaum keturunannya, sebagai bagian klan suku Koto.
Bonjol dilahirkan di kalangan keluarga pedagang dan senang merantau. Inilah yang menyebabkan dirinya pernah dikirim ke Malaysia untuk mendapatkan pendidikan formal Sekolah Rakyat Desa (setingkat Sekolah Dasar) pada 1779.
Kehidupan Imam Bonjol mencerminkan keteladanan dan kesederhanaan. Patutlah jika Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Agama memilih dirinya untuk ditulis biografinya, dengan harapan perjuangannya dapat dijadikan sebagai pedoman hidup oleh generasi selanjutnya.
Setelah dewasa, dia belajar agama Islam kepada Syekh Ibrahim Kumpulan di Bonjol pada 1809–1814. Selanjutnya, antara tahun 1818 dia memperdalam ilmu Tarekat Naqsyabandiyah di Bonjol. Dia juga tertarik mempelajari budi bahasa yang luhur, tingkah laku, dan kearifan.
Dia mempunyai beberapa orang istri, tetapi hanya satu yang mendampinginya hingga meninggal, yaitu Hajjah Solehah. Melalui pernikahannya dengan Solehah, dia dikaruniai 10 orang anak, yaitu lima orang anak laki-laki dan lima orang anak perempuan. Anak-anaknya adalah Hasan, Hasyim, Harun al-Rasyid, Syahrudin, Djusnah, Sawwadjir, Hasanah, Rofiah, Cholidi, dan Nur Baiti.
Kebiasaan Imam Bonjol yang patut untuk dicontoh adalah sebagai berikut.
- Terbiasa tidur di masjid, tetapi hampir 2/3 dari waktunya dihabiskan untuk beribadah dan mengajar;
- Selalu mengenakan jubah dan serban putih;
- Sering mengurangi waktu tidur pada malam hari untuk berkhalwat kepada Allah SWT;
- Memakan dengan lauk sederhana;
- Setiap orang yang datang kepadanya dilayani dengan baik, tanpa membedakan siapa pun.
Imam Bonjol mempunyai keahlian di bidang ilmu tasawuf dan ilmu fikih. Selain itu, dia juga mempunyai keahlian di bidang pengobatan tradisional. Dia dikenal di kalangan masyarakat mampu menyembuhkan berbagai penyakit yang sering dikatakan misterius. Sebelum menyembuhkan penyakit-penyakit tersebut, dia melakukan salat istikharah dan berdoa kepada Tuhan, sehingga para pasiennya juga sembuh seolah-olah secara misterius juga.
Tuanku Imam Bonjol tidak terlibat sejak awal dalam Perang Padri. Ia baru terlibat setelah Tuanku nan Renceh dari Kamang, Agam sebagai salah seorang pemimpin Harimau Nan Salapan menunjuknya sebagai imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol Ia akhirnya lebih dikenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.
- PERAN TUANKU IMAM BONJOL
1. Sebagai Guru
Imam Bonjol mendidik dan mengajar di setiap surau, masjid, dan pesantren yang dia bangun di setiap perkampungan, sekaligus menjadi pemimpin para jemaahnya. Setelah berjalan lancar, dia kemudian menyerahkannya kepada murid yang paling dipercayainya. Pekerjaan tersebut dilakukannya dengan penuh keikhlasan.
2. Sebagai Tokoh Panutan
Sebagai tokoh panutan, dia sangat dekat dengan masyarakat, begitu juga sebaliknya. Inilah yang membuatnya sangat memperhatikan kehidupan masyarakatnya, baik kehidupan jasmaniah maupun kehidupan rohaniahnya. Jika dia melihat anggota masyarakatnya yang susah kehidupannya, akan dibantunya dan dianjurkan untuk mencari penghasilan yang lebih menguntungkan.
3. Sebagai Pejuang
Sebagai putra bangsa yang hidup sejak zaman penjajahan Belanda, dia telah berniat berjuang melawan melalui media agama Islam dengan mendirikan Tarekat Naqsyabandiyah. Melalui tarekat tersebut, dia mengajarkan kepada murid-muridnya tentang pelajaran-pelajaran yang berhubungan dengan penjajahan.
- IMAM BONJOL DAN PERANG PADRI
Imam Bonjol adalah pahlawan nasional perintis kemerdekaan, seorang ulama, dan pemimpin Perang Padri yang menentang penjajahan Belanda di bumi Minangkabau pada abad ke-19. Gerakan Padri muncul di Minangkabau setelah tiga orang pulang haji dari Makkah pada 1803, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang yang ingin memperbaiki syariat Islam yang dijalankan oleh masyarakat Minangkabau.
Mengetahui hal tersebut, Tuanku Nan Renceh ikut mendukung keinginan ketiga orang haji tersebut bersama dengan ulama lain di Minangkabau yang tergabung dalam Harimau Nan Salapan (satu kolompok ulama), berisi 8 ulama di wilayah masing-masing. Pemimpinya: Tuanku nan Renceh, Tuanku Mansiangan, Tuanku Lintau, Tuanku Pasaman, Tuanku Rao, Tuanku Tambusai, Tuanku Barumun, dan Tuanku Imam Bonjol. Anggota Harimau Nan Salapan (Pimpinan Kaum Tuo yaitu Tuanku Nan Renceh), kecuali yg 7 itu bukan.
Tuanku nan Renceh yang bersemangat, setuju agar kehidupan agama disana dimurnikan, dan diperjuangkan. Tuanku nan renceh menghadap gurunya Tuanku Nan Tuo, di Kota Tuo Agam. Bagaimana kalau kita mengunakan kekuatan untuk memurnikan/menegakkan agama kita? Agar Kaum Adat meninggalkan beberapa kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Termasuk kebiasaan bangsawan Kaum adat yang masih suka menyambung ayam (judi), mengisap madat (candu obat terlarang) , minum khamar, dan pelanggan lainnya.
Tapi Tuanku Nan Tuo tidak setuju, sebab tugas kita hanya berdakwah dengan hikmah tanpa kekerasan.Kalau satu negeri atau satu desa sudah ada seorang mukmin Maka negeri itu menjadi Darul Islam, dan tidak boleh diserang. Tapi Tuanku Nan Renceh tidak setuju. Prinsipnya, semua negeri harus merujuk ke syari'at islam.
Dalam beberapa perundingan, tidak ada kata sepakat antara. Terbelah dua Kubu. Yaitu Kaum Tuo dan Kaum Mudo. Kaum Tuo jangan pakai kekerasan dan Kekuatan. Kaum Mudo inginnya bergerak sesegera mungkin berdakwah. Tuanku Lintau dikirim menemui Kaum Adat dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah untuk menyeru seluruh kaum adat untuk meninggalkan kebiasaan yang menentang syari'at islam itu. Kaum adat menolak karena semua sudah turun-temurun. Maka dimulailah peperangan, dan bermunculan panglima hebat seperti Tuanku Rao dan Tuanku Lintau.
Seiring hal itu, beberapa nagari dalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak. Puncaknya Kaum Padri di bawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Kerajaan Pagaruyung pada 1815 dan pecahlah peperangan di Koto Tangah dekat Batu Sangkar. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa melarikan diri dari ibu kota kerajaan ke Lubukjambi.
Perang Padri meninggalkan kenangan heroik sekaligus traumatis di ranah Minangkabau. Selama sekitar 18 tahun pertama perang itu (1803–1821) umumnya yang berperang adalah sesama orang Minang dan Mandailing atau Batak.
Menurut sejarawan, kalau bukan dengan cara kekuatan bersenjata, islam tidak akan mungkin masuk ke Tanah Batak dan Mandailing, karena mereka dikenal dengan pasukan yg kuat. Salah satu penyebar islam di Tanah Mandailing dan Tanah Batak adalah Tuanku untuk membela islam. Mandaling tempat kaum muslimin yang kuat. Terdapat marga-marga islam yang sangat kukuh. Semisal: marga Lubis, Nasution, marga siregar. Hal ini buah dakwah dari pasukan padri yang bergerak ke arah utara lewat padang Lawas, Padang Sidempuan, dan sampai ke tanah Batak selatan serta Tanah Batak Utara.
Itulah bagian awal dari perang Padri yang bermula dari penegakkan Syari'at Islam. Serangan ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan. Berdasarkan catatan Raffles yang pernah mengunjungi Pagaruyung tahun 1818, dia menyebutkan hanya mendapati sisa-sisa Istana Kerajaan Pagaruyung yang sudah terbakar.
Dikarenakan terdesak dalam peperangan dan keberadaan Yang Dipertuan Pagaruyung tidak pasti, Pada 21 Februari 1821, kaum Adat secara resmi bekerja sama dengan pemerintah Hindia Belanda berperang melawan kaum Padri dalam perjanjian yang ditandatangani di Padang. Sebagai kompensasi, Belanda mendapat hak akses dan penguasaan atas wilayah darek (pedalaman Minangkabau). Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga dinasti kerajaan Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sudah berada di Padang waktu itu.
Akibat dari perjanjian ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda penyerahan Kerajaan Pagaruyung kepada pemerintah Belanda. Sultan Tangkal Alam Bagagar kemudian diangkat sebagai Regent Tanah Datar.
Belanda akhirnya terlibat dalam perang karena diundang oleh Kaum Adat. Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema pada April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang. Pada 8 Desember 1821, datang tambahan pasukan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Raaff untuk memperkuat posisi di kawasan yang telah dikuasai tersebut.
Kerumitan antara Kaum Adat dan Belanda makin menjadi-jadi. Lama-kelamaan Kaum Adat Menyadari bahwa Belanda bukan untuk membantu, tetapi mencari wilayah Jajahannya sendiri. Mereka menguasai Pelabuhan Padang, kota Pariaman, dan kota-kota pantai. Barulah kaum Adat menyadari bahwa mereka dimanfaatkan Belanda untuk menyerang saudaranya sendiri yaitu para ulama atau Kaum Padri.
Tahun 1821, Tuanku Rao gugur dalam perang melawan Belanda di Pantai Air Bangis, Padang. Beliau menjadi legenda panglima terhebat dan terberani di kalangan sejarah kaum padri. Selama periode gencatan senjata, Imam Bonjol mencoba memulihkan kekuatan dan juga mencoba merangkul kembali Kaum Adat. Musuh sebenernya adalah orang kafir Belanda. Perang berlanjut, Sementara kaum. Adat sudah memihak kaum padri. Mereka menyamakan satu pikiran Untuk melawan musuh yg sebenernya yaitu Belanda.
Fort van der Capellen.
Pada 4 Maret 1822, pasukan Belanda yang berada di bawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff berhasil memukul mundur Kaum Padri keluar dari Pagaruyung. Belanda kemudian membangun benteng pertahanan di Batusangkar dengan nama Fort Van der Capellen, sedangkan Kaum Padri menyusun kekuatan dan bertahan di Lintau.
Pada 10 Juni 1822, pergerakan pasukan Raaff di Tanjung Alam dihadang oleh Kaum Padri, tetapi pasukan Belanda dapat terus melaju ke Luhak Agam. Selanjutnya, Kapten Goffinet menderita luka berat dalam pertempuran di Baso pada 14 Agustus 1822 hingga akhirnya meninggal dunia pada 5 September 1822. Pada September 1822, pasukan Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar karena terus tertekan oleh serangan Kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh.
Setelah mendapat tambahan pasukan pada 13 April 1823, Raaff mencoba kembali menyerang Lintau, tetapi Kaum Padri dengan gigih melakukan perlawanan, sehingga Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar pada 16 April 1823. Sementara itu, Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah kembali ke Pagaruyung atas permintaan Letnan Kolonel Raaff pada 1824.
Pada September 1824, pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Frans Laemlin telah berhasil menguasai beberapa kawasan di Luhak Agam, yaitu Koto Tuo dan Ampang Gadang. Pasukan itu kemudian juga menduduki Biaro dan Kapau, tetapi Laemlin akhirnya meninggal dunia di Padang pada Desember 1824 karena luka-luka yang dideritanya dalam pertempuran.
Belanda kemudian melemahkan kekuatan lawan dengan melanggar perjanjian yang telah dibuat sebelumnya. Mereka menyerang nagari Pandai Sikek, salah satu kawasan yang mampu memproduksi mesiu dan senjata api. Pasukan Belanda kemudian membangun benteng di Bukittinggi yang dikenal dengan nama Fort de Kock untuk memperkuat kedudukannya. Jendela tertinggi Belanda waktu itu juga masih menjadi musuh Pangeran Diponegoro di dalam perang jawa 1825-1830. Pelawanan semakin luas, Belanda mengirim serdadu-serdadu ke Minangkabau.
Belanda melalui residennya di Padang mengajak pemimpin Kaum Padri, yang waktu itu telah dipimpin oleh Imam Bonjol, untuk berdamai dengan maklumat Perjanjian Masang. Perjanjian Masang banyak diingkari Belanda, justru Belanda banyak menguasai wilayah-wilayah kaum Adat. Kemudian Terjadilah penarikan pasukan Belanda dari wilayah Sumatera dan lainnya. Untuk ditarik ke Jawa.
18 Juli 1825 Pangeran Diponegoro berhasil meloloskan diri Putri Tegalrejo ketika dikepung Belanda dalam perang jawa dan Diponegoro. Setelah berakhirnya Perang Diponegoro dan pulihnya kekuatan Belanda di Jawa, dalam waktu Empat bulan pemerintah Hindia Belanda kembali mencoba menarik kembali pasukan di luar jawa untuk berkonsentrasi Diponegoro, termasuk menundukan Kaum Padri di Sumatera Barat, bukan hanya itu di Sulawesi Selatan juga untuk melawan bone. Tujuan membangun siasat perjanjian damai dengan kaum Padri.
18 November 1826. Semua pasukan dari Sumatera ditarik Belanda. Kemudian terjadi perjanjian damai dengan Tuanku Imam Bonjol. Muncul suatu kompromi yang dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di Bukit Marapualam, Kabupaten Tanah Datar yang mewujudkan konsensus bersama Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, yang artinya adat Minangkabau berlandaskan kepada agama Islam, sedangkan agama Islam berlandaskan kepada Al-Qur’an.
Tahun 1831, Belanda datang lagi ke Sumatera Barat setelah perang Jawa, dan membawa pasukan Eropa Kristen untuk melawan, dan Pasukan dari Jawa yaitu Pasukan Alibasyah Sentot Prawirodirjo. November 1829 pasukan itu diterima Belanda dalam dinas militer setelah mengajukan syarat pemberhentian perang. Mereka diberikan 1000 prajurit beserta gaji dan logistik, seragam, serban, tidak minum khamer. Tahun 1831 Sentot berhadapan dengan Kaum Padri. Ternyata seragan putih mereka sama, mereka berserban, bahkan berteriak takbir. Sentot tidak bersedia melawan mereka, lalu diasingkan oleh Belanda ke Bengkulu. Hingga ia wafat disana.
Sejak tahun 1833, mulai muncul kompromi perlawanan bersama di pihak lain antara Kaum Adat dan Kaum Padri. Pada 11 Januari 1833, beberapa kubu pertahanan dari garnisun Belanda diserang secara mendadak, sehingga membuat keadaan menjadi kacau. Disebutkan ada sekitar 139 orang tentara Eropa dan ratusan tentara pribumi terbunuh.
Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sebelumnya ditunjuk oleh Belanda sebagai Regent Tanah Datar, ditangkap oleh pasukan Letnan Kolonel Elout pada 2 Mei 1833 di Batusangkar atas tuduhan pengkhianatan. Belanda kemudian mengasingkannya ke Batavia, meskipun dia menyangkal keterlibatannya dalam penyerangan beberapa pos Belanda. Pemerintah Hindia Belanda di sini tidak mau mengambil risiko untuk menolak laporan dari para perwiranya. Kedudukan Regent Tanah Datar kemudian diberikan kepada Tuan Gadang di Batipuh.
Menyadari hal itu, Belanda bukan hanya menghadapi Kaum Padri saja, tetapi masyarakat Minangkabau secara keseluruhan. Pemerintah Hindia Belanda lantas mengeluarkan pengumuman yang disebut Plakat Panjang pada 1833.
Isinya berupa pernyataan bahwa kedatangan Belanda ke Minangkabau tidaklah bermaksud untuk menguasai negeri tersebut, mereka hanya datang untuk berdagang dan menjaga keamanan, penduduk Minangkabau akan tetap diperintah oleh para penghulu mereka dan tidak pula diharuskan membayar pajak.
Pemerintah Hindia Belanda juga berdalih bahwa kedatangan pasukannya untuk menjaga keamanan, membuat jalan, membuka sekolah, dan sebagainya memerlukan biaya. Inilah yang membuat penduduk diwajibkan menanam kopi dan harus menjualnya kepada Belanda. Namun, hal itu tidak dihiraukan oleh Kaum Padri dan masyarakat Minangkabau.
Kegagalan penaklukan itu benar-benar memukul kebijaksanaan Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia yang waktu itu dipegang oleh Dominique Jacques de Eerens. Dia kemudian mengirimkan seorang panglima perangnya yang bernama Mayor Jenderal Cochius pada awal tahun 1837 untuk memimpin langsung serangan besar-besaran ke Benteng Bonjol. Cochius merupakan seorang perwira tinggi Belanda yang memiliki keahlian dalam strategi perang Benteng Stelsel.
Rasa penyesalan Tuanku Imam Bonjol atas tindakan kaum Padri atas sesama orang Minang, Mandailing dan Batak, terefleksi dalam ucapannya Adopun hukum Kitabullah banyak lah malampau dek ulah kito juo. Baa dek kalian? (Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh kita. Bagaimana pikiran kalian?). Kemudian semuanya bersorak "ah, saketek indak baã, iyo biktu awak samo awak badusanak" (Bahasa Indonesia: ah, sedikit tidak apa, iya seperti itu jika kita bersaudara).
Selanjutnya, Belanda dengan intensif mengepung Bonjol dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret–17 Agustus 1837) dipimpin oleh jenderal dan beberapa perwira. Pasukan gabungan ini sebagian besar terdiri atas berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon.
Pasukan dari Batavia didatangkan terus sebagai tambahan kekuatan tentara Belanda. Pada 20 Juli 1837, pasukan itu tiba dengan Kapal Perle di Padang, yang meliputi sejumlah orang Eropa dan Sepoys serta serdadu dari Afrika yang berdinas dalam tentara Belanda. Mereka direkrut dari Ghana dan Mali, yang terdiri atas 1 sergeant, 4 korporaals, dan 112 flankeurs, serta dipimpin oleh Kapitein Sinninghe.
Serangan yang bergelombang serta bertubi-tubi dilancarkan oleh pasukan artileri yang bersenjatakan meriam-meriam besar selama kurang lebih 6 bulan lamanya. Pasukan infantri dan kavaleri juga terus berdatangan. Pada 3 Agustus 1837, pasukan Belanda yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Michiels sebagai komandan lapangan terdepan mulai sedikit demi sedikit menguasai keadaan.
Pada 15 Agustus 1837, Bukit Tajadi akhirnya. Namun, Imam Bonjol dapat mengundurkan diri keluar dari benteng dengan didampingi oleh beberapa pengikutnya terus menuju daerah Marapak. Setelah datang bantuan dari Batavia, maka Belanda mulai melanjutkan kembali pengepungan, dan pada masa-masa selanjutnya, kedudukan Tuanku Imam Bonjol bertambah sulit, namun ia masih tak sudi untuk menyerah kepada Belanda. Sehingga sampai untuk ketiga kali Belanda mengganti komandan perangnya untuk merebut Bonjol, yaitu sebuah negeri kecil dengan benteng dari tanah liat yang di sekitarnya dikelilingi oleh parit-parit. Barulah pada tanggal 16 Agustus 1837, Benteng Bonjol dapat dikuasai setelah sekian lama dikepung.
Dalam pelarian dan persembunyiannya, Imam Bonjol terus mencoba mengadakan konsolidasi terhadap seluruh pasukannya yang telah bercerai-berai dan lemah. Namun, pasukannya ternyata hanya sedikit saja yang tinggal dan masih siap untuk bertempur kembali. Hal ini dikarenakan mereka telah bertempur melawan Belanda secara terus-menerus selama lebih dari tiga tahun.
Imam Bonjol akhirnya menyerah kepada Belanda pada Oktober 1837, dengan kesepakatan bahwa anaknya yang ikut bertempur, Naali Sutan Chaniago, diangkat sebagai pejabat kolonial Belanda.
Tuanku Imam Bonjol menyerah kepada Belanda pada Oktober 1837, dengan kesepakatan bahwa anaknya yang ikut bertempur selama ini, Naali Sutan Chaniago, diangkat sebagai pejabat kolonial Belanda. Imam Bonjol dibuang ke ke Cianjur, Jawa Barat. Kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotta, Minahasa, dekat Manado. Di tempat terakhir itu ia meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di tempat pengasingannya tersebut. Tuanku Imam Bonjol menulis autobiografi yang dinamakan Naskah Tuanku Imam Bonjol yang antara lain berisi penyesalannya atas kekejaman dalam perang Padri. Tulisan tersebut merupakan karya sastra autobiografi pertama dalam bahasa Melayu disimpan oleh keturunan Imam Bonjol dan dipublikasikan tahun 1925 di Berkley, dan 2004 di Padang.
Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi, Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenep, Madura). Serangan terhadap benteng Bonjol dimulai oleh orang-orang Bugis yang berada di bagian depan dalam penyerangan pertahanan Padri. Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda tersebut di antaranya adalah Mayor Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Mayor Prager, Kapten MacLean, Letnan Satu van der Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz, dan seterusnya. Ada juga nama inlandsche (pribumi) seperti Kapiten Noto Prawiro, Indlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, Merto Poero, dan lain-lainnya.
Perjuangan yang telah dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol dapat menjadi apresiasi akan kepahlawanannya dalam menentang penjajahan, sebagai penghargaan dari pemerintah Indonesia yang mewakili rakyat Indonesia pada umumnya, Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal 6 November 1973.
Selain itu, nama Tuanku Imam Bonjol juga hadir di ruang publik bangsa sebagai nama jalan, nama stadion, nama universitas, bahkan pada lembaran uang Rp5.000 keluaran Bank Indonesia 6 November 2001.
- KETURUNAN
Di antara anak-anak Tuanku Imam Bonjol, yakni Sutan Chaniago dan Sutan Saidi (lain ibu). Ibu Sutan Chaniago berasal dari Alahan Panjang, sedangkan ibu Sutan Saidi berasal dari Koto Lawas, Koto Tinggi. Selepas Perang Padri, Sutan Chaniago diangkat menjadi Kepala Laras Alahan Panjang (1851–1875), sementara Sutan Saidi dibuang bersama Tuanku Imam Bonjol ke Manado dan kembali ke Bonjol setelah sang ayah meninggal.
Putra Imam Bonjol lainnya bernama Mahmud tewas kena tusukan bayonet saat Belanda menaklukkan Benteng Bukit Tajadi pada 1836.
Referensi: https://www.gramedia.com/literasi/biografi-tuanku-imam-bonjol/
Comments